Naik Gunung Gak Sekadar Selfie

Naik Gunung Gak Sekadar Selfie

Kecelakaan di gunung atau tempat-tempat wisata alam kian marak terjadi. Ada indikasi bahwa aktivitas yang kini makin digemari generasi milenial dan generasi z ini juga semakin jauh dar tanggungjawab. Selain limbah sebagai peninggal jejak, keselamatan pun kini dianggap seperti tiupan angin belaka alias tak dianggap.

Bima Saskuandara dari Federasi Mountaineer Indonesia (FMI) menjelaskan, “Tiap tahun ada 13 sampai 15 kematian terjadi di gunung, korbannya di bawah usia 30. Penyebabnya hipotermia dan kesasar.”

Data tersebut menurut Bima membuktikan bahwa ada yang salah dengan pelaku aktivitas ini sekarang. Ditemui pada sesi bincang “Responsible Mountaineer: Naik Gunung Bukan Cuma Selfie” di INDOFEST 2020, Sabtu 14 Maret 2020, Bima berharap kalau aturan-aturan dasar aktivitas alam bebas bisa masuk ke dalam kurikulum, seperti Pramuka.

“Ini supaya nggak kejadian lagi anak Pramuka malah kecelakaan hingga meninggal di sungai,” tambahnya.

Ingin Bebas Malah Nahas

Bima juga mengungkapkan bahwa generasi z yang kini menggandrungi aktivitas naik gunung ini punya karakter beda dengan generasi terdahulu. “Anak sekarang ini naik gunung karena freedom, aktualisasi diri, ingin bebas, belajar naik gunung juga dari Youtube, bukan pelatihan resmi,” terang Bima.

Bima menyayangkan para pendaki sekarang yang merasa cukup dengan belajar dari media sosial, bukan dari pelatihan dasar yang sebenarnya.

“Dulu saya naik gunung karena nggak mau ketemu orang, sekarang naik gunung malah ketemu gerombolan. Gunung itu sekarang ibarat kota kecil. Isinya kerumunan!” lanjut Bima.

Kurangnya rasa peduli termasuk menjauhi faktor keselamatan adalah penyebab terjadinya kecelakaan di tempat wisata alam, selain nafsu besar untuk eksis. Namun yang lebih mengerikan adalah faktor minimnya pengetahuan. Banyak pendaki sekarang yang tidak tahu apa yang berbahaya, yang boleh dan tidak, dan apa yang harus dipatuhi.

Rahmat Riyadi dari FMI atau yang lebih akrab disapa Yadoet, menjelaskan bahwa pendaki gunung sekarang banyak tak paham aturan bahkan aturan dasar sekalipun, dan lebih paham bergaya depan kamera. Tapi yang lebih mencemaskan adalah tahu tapi tak peduli. “Dia tahu itu salah tapi dia tetap lakuin demi eksistensi, ya celakalah dia,” ujar Yadoet yang sudah berpengalaman dalam hal keselamatan di gunung.

Yadoet juga menambahkan hal yang perlu diperhatikan untuk para pendaki muda khususnya generasi z, bahwa mereka itu terlalu bergantung pada teknologi. “Ini baru generasi z, generasi alfa nanti akan lebih bergantung lagi. Ini memprihatinkan,” tegas Yadoet.

Bima juga menjelaskan bahwa wisata naik gunung tak bisa disamakan dengan wisata alam lainnya, seperti misalnya diving yang menerapkan aturan sangat ketat dan bisa diterapkan ke semua pelakunya. Naik gunung melibatkan peserta yang lebih banyak karena lebih mudah dilakukan.

“Naik gunung itu sifatnya masif jadi lebih sulit memantaunya,” terang Bima.

Namun dengan semua masalah yang timbul pada pendaki muda, Bima masih berharap pendaki sekarang bisa menyadari kekurangannya dan mau untuk belajar. “Generasi z itu open minded juga jadi mereka mau belajar hal baru sebetulnya. Tinggal cara komunikasi kita aja yang harus cocok,” tutup Bima

Gambar utama oleh Kelsey Vere dari Pixabay

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *